Seminar Nasional "KHES Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah"
Pengadilan agama (Islam) di negeri ini sudah ada sejak dahulu kala bahkan sebelum masa penjajahan Belanda, praktiknya diselenggarakan oleh kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di berbagai wilayah nusantara. Hadirnya Belanda yang menjajah nusantara kemudian memberlakukan politik hukum dengan usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam dan kemudian memberlakukan peraturan hukum versi Belanda. Sekelumit sejarah tersebut memberikan gambaran bahwa hukum Islam menempati posisi yang penting dalam perjalanan Hukum di Indonesia.
Implementasi hukum syariah di Indonesia sebenarnya sudah diterapkan dalam Hukum positif sejak Orde lama, dan banyak menyangkut lingkup hukum perdata, seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 17 dan 38 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Pengelolaan Zakat, dan lainnya (Abdul Mughits dalam Jurnal AL-MAWARID Edisi XVIII, 2008).
Hukum Syariah di Indonesia menjadi salah satu instrumen penting sebagai sumber dan acuan hukum nasional. KHES disusun sebagai respon terhadap UU No.3 Th. 2006 terkait dengan perubahan atas UU No.7 tahun 1999 tentang Peradilan Agama terkait dengan perluasan wewenang peradilan agama sehubungan dengan Hukum Ekonomi Syariah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) mempunyai fungsi yang sama dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu bukan merupakan sumber hukum formil (seperti UUD 45, UU, PERPU, PERDA, dan sebagainya), namun KHES dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara hukum alias berperan sebagai sumber hukum materiil apabila hakim menggunakannya. Hanya saja perbedaaannya adalah pada cakupan materinya: jika KHES lebih pada pembahasan hukum ekonomi syariah, atau hukum bisnis syariah (muamalah maaliyyah), sedangkan KHI membahas hukum keluarga (akhwal syakhsiyyah), (AA Amarudin Mumtaz dalam Kompasiana, 19 Juni 2015).